Mari teman teman blogger semua kita wujudkan gerakan hijau indonesia dengan menanam satu pahon di pekarangan rumah kita jadikan bumi indonesia jadi negara yang paling terkenal bukan karena polusinya atau korupsiannya, tapi karena keindahan alamnya , jadikan bumi indonesia ini surga bagi kita semua, bagi ank cucu kita, anda tahu dengan menanam satu pohon maka kita telah membantu mengurangi polusi udara dibunia karena dunia ini hanya terdiri dari air dan sebagian gurun yang yang tandus maka kita harus bersukur kita tinggal di negara beriklim tropis karena kita seharusnya dapat menhirup udara yang segar dari alam ini, mari kita canangkan gerakan sejuta pohon di negeri indonesia tercinta ini.
satu hal kecil dapat merubah bumi ini
Read more ...
Monday, April 26, 2010
Program Menuju Indonesia Hijau
Wednesday, April 8, 2009
Kekayaan Laut Indonesia Terus Dikeruk Kapal Ikan Asing
Itulah yang bisa ditangkap dari percakapan dengan sejumlah nakhoda kapal yang biasa mengarungi perairan Selat Malaka, Karimata dan Laut Jawa Jumat-Sabtu (3-4/3) lalu. Hal itu dibenarkan oleh bekas Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) Solichin GP yang menjadi salah satu pemrakarsa lahirnya Keppres 39/1980 tentang Larangan Penggunaan Jaring Pukat Harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia.
Para nakhoda kapal penangkap ikan tradisional itu mengungkapkan, jaringan ini begitu kuat dan rapi, menjadi sindikat yang tidak mudah tersentuh hukum. Mereka menggunakan kapal-kapal asing yang disewa dan dilengkapi jaring penangkap ikan pukat harimau.
Padahal sejak 1 Januari 2000, pemerintah telah melarang beroperasinya kapal-kapal asing secara sewa di seluruh perairan Indonesia. Ini tercantum dalam SK Mentan 1087/1999 tentang Pengadaan Kapal Perikanan dan Penghapusan Sistem Sewa Kapal Perikanan Asing.
Kalau pun kapal yang diawaki oleh orang asing itu tertangkap, jarang sekali dituduh melanggar peraturan perikanan misalnya penggunaan jaring pukat harimau atau merasuki jalur penangkapan yang seharusnya dilakukan oleh nelayan kecil. Sebab mereka terlindungi oleh izin-izin yang dipalsukan.
Pelanggaran yang dituduhkan hanya sebatas administratif misalnya tak mengantungi paspor. Mereka lalu diusir dengan kapalnya dan beberapa minggu kemudian sudah kembali berlayar di perairan Indonesia. Peristiwa ini terus berulang-ulang hingga kerugian perikanan yang diderita oleh Republik ini mencapai 4 milyar dollar AS (sekitar Rp 30 trilyun) setiap tahunnya.
Padahal ekspor yang bisa dipacu oleh pengusaha, termasuk nelayan-nelayan lokal, menurut data di Direktorat Jenderal Perikanan, hanya 2 milyar dollar AS per tahun. Kapal-kapal asing berteknologi canggih itu bisa merasuki perairan pantai hingga ZEEI, sedangkan kapal-kapal nelayan lokal bertumpuk di daerah pantai yang sudah padat tangkap.
Jaringan internasional
Solichin GP mengakui, meski telah terbit Keppres itu, pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan itu tetap berlangsung. Keppres itu tak pernah mencapai sasaran, karena pelanggaran di lapangan tidak bisa dibendung dikarenakan kuatnya jaringan sindikat itu.
Solichin mencontohkan bagaimana keluarga Cendana sendiri ikut andil dalam hal ini. Lewat seorang kroninya yakni seorang pengusaha asal Semarang (Jawa Tengah) Tek Kiong alias Om Tikno yang bergerak di bidang perikanan, keluarga Cendana bisa mengeruk keuntungan tanpa harus terjun sendiri di lautan.
"Masalahnya jelas, karena Tikno ini sudah punya relasi kuat dengan jaringan internasional hingga dengan mudah ia bisa menyewa kapal-kapal trawl dari negara-negara tetangga agar bisa dioperasikan di wilayah perairan Indonesia," jelas Solichin.
Selama Orde Baru selain bergerak di perikanan, perusahaan Tek Kiong juga merupakan importir beras raksasa yang merupakan satu-satunya perusahaan dengan izin khusus dari pemerintah. Di kalangan importir, perusahaan ini merupakan "Bulog swasta" yang punya akses langsung ke Presiden. Selama itu perusahaan ini diperkirakan telah mengeruk keuntungan trilyunan rupiah dari Republik ini.
Ketika masih menjabat Kabulog, Beddu Amang mengungkapkan, Tek Kiong atau Tikno mengimpor sendiri kedelai dengan izin khusus Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan tidak ada perusahaan lain yang diberikan izin khusus ini. Tidak ada pihak yang bisa "menyentuh" perusahaan ini sebab berlindung di balik kekuasaan tertinggi.
Di bidang perikanan, jauh lebih buruk lagi. Para pengusaha perikanan yang sudah "ditertibkan" waktu itu, dengan bebasnya beroperasi di lautan. Mereka punya backing kuat-entah itu kekuatan ekonomi maupun pengaruhnya di pemerintahan karena kentalnya nepotismenya sejumlah pejabat tinggi pemerintahan.
Dari situlah lalu muncul berbagai perusahaan perikanan milik yayasan-yayasan yang berafiliasi pada instansi-instansi resmi pemerintah, baik itu sipil dan militer. Laut pun dikeruk hingga biotanya rusak karena mereka menggunakan pukat harimau yang di negara maju sudah dilarang.
Menyengsarakan nelayan
Aksi pengerukan kekayaan laut Indonesia semakin menjadi-jadi, setelah pihak luar negeri ikut andil dalam gerakan ini akibat stok ikan dan udang di kawasan perairan mereka menipis. Inilah saatnya, kata Solichin, ketika awal tahun 1990-an banyak pengusaha perikanan Indonesia mulai "menggandeng" sejumlah rekan bisnis bidang sama dari luar negeri.
Dari sini mulai muncul praktik-praktik penjualan lisensi surat izin penangkapan ikan oleh para pengusaha Indonesia kepada mitranya dari luar negeri. "Yang paling jelek tentu saja, mereka memodali kapal-kapal asing itu dengan surat izin penangkapan ikan dan itu berarti legal, namun mereka tak pernah bertanggung jawab atas modus pengoperasian kapal-kapal asing berbendera Indonesia itu," tandas Solichin.
Praktik sama, katanya, hingga kini juga masih berlangsung. Kali ini, pengoperasian kapal-kapal asing itu dilakukan dengan cara berafiliasi pada sejumlah yayasan atau perusahaan-perusahaan yang dimiliki instansi sipil maupun militer. "Bohong, kalau mereka tak mau mengakui itu," ujar Solichin GP tanpa ragu sedikit pun.
Sementara itu ribuan nelayan di perairan Ketapang, Kalimantan Barat, sudah lama mengeluh larena sejak kapal pukat harimau berbendera Indonesia yang diawaki nelayan Thailand beroperasi di kawasan perairan itu, mereka sering tak mendapat ikan atau udang, sekalipun telah sepanjang malam melaut. Berbagai keluhan dan protes telah meraka sampaikan, tetapi menguap seperti angin laut.
Selain di Pulau Pelapis, kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap berteknologi canggih itu juga beroperasi di Pulau Karimata, Serutu, Bawal, dan Sawi. Sekali beroperasi jumlahnya sedikitnya 80 buah. Kapal-kapal yang terbuat dari kayu itu memiliki panjang rata-rata 19,18 meter, lebar 5,75 meter, dan tinggi 3,85 meter. Bagian dalamnya dilengkapi dengan radar, radio, alat pendeteksi ikan, serta ruang pendingin.
Radar itu mampu mendeteksi kumpulan-kumpulan ikan di laut sehingga dengan mudah kapal bergerak di sana. Pukat harimau yang dimiliki minimal dua unit per kapal. Ukuran masing-masing unit sekitar 250 meter persegi. "Sekali saja pukat itu ditebarkan langsung terjaring belasan ton berbagai jenis ikan atau udang," tutur Prasit (35), salah seorang nelayan asal Thailand yang pernah ditahan Polisi Air di Pontianak pada 8 September 1999.
Kapal induk
Selama operasi berlangsung, kapal-kapal itu selalu dikawal tiga kapal induk penampung ikan. Jika ikan yang ditangkap kapal penangkap sudah banyak, maka langsung dipindahkan ke kapal induk. Selanjutnya diangkut menuju Thailand. Pemindahan biasanya dilakukan sekali dalam sepekan. Tugas lain dari kapal induk adalah pemasok bahan bakar dan makanan.
Di laut, nelayan Thailand juga sangat beringas sebab mereka memiliki senjata lengkap. Sering nelayan tradisional setempat yang sedang menangkap ikan di laut dianiaya dan ditenggelamkan bersama perahunya. Terakhir korbannya enam orang berasal dari Ketapang dan Belitung (Sumsel). Tidak ada yang bisa menolong mereka di tengah lautan yang ganas itu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perikanan Gabion Belawan, Handi Ong memperkirakan, jumlah kapal nelayan asing di seluruh perairan Indonesia 6.000 unit. Sampai sekarang, walaupun 56 di antaranya berhasil ditangkap di perairan Aceh, tetapi kapal-kapal ikan asing lainnya masih saja beroperasi, baik di laut pantai timur maupun pantai barat Sumut.
Pihak keamanan menilai kapal itu mengantongi surat penangkapan ikan (SPI) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perikanan. "Makanya, sulit menangkap nelayan Thailand bersama kapalnya. Apalagi saat kapal patroli mendekat, pukat harimau disembunyikan atau kapal itu dilarikan ke laut lepas. Inilah yang selalu menjadi hambatan petugas dalam upaya menertibkan kawasan perairan yang begitu luas," jelas Komandan Pangkalan TNI AL Pontianak, Kolonel Laut (P) Uray Asnol Kabri.
Di sisi lain nelayan tradisional beranggapan, terjadi kolusi antara aparat dengan nelayan Thailand. Sesuai penuturan nelayan Thailand bahwa setiap kapal dipungut uang rata-rata Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan.
"Tidak mengherankan, penggunaan pukat harimau selama enam tahun ini tak pernah ditertibkan. Padahal, saat merapat di Pulau Pelapis atau Karimata, kapal-kapal pukat harimau itu selalu diparkir di sisi kiri dan kanan kapal patroli," kata Roy (43), nelayan asal Pulau Karimata.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Dinas Perikanan Kalimantan Barat Paijan melihat, tidak tegasnya aparat dalam menindak kapal pukat harimau Thailand berbendera Indonesia itu karena ada yang bernaung di bawah Pusat Koperasi TNI AL (Puskopal).
Delapan kapal yang ditangkap bersama 101 anak buah kapal (ABK) September 1999 di Pulau Bawal (Ketapang) adalah milik PT Jasamina Tirta Prakasa dan PT Rahayu Adhirajasa. Kedua perusahaan ini milik pengusaha di Jakarta. Sedangkan kapal-kapal tersebut mengantongi kartu tanda anggota Unit Usaha Perikanan Puskopal Komando Armada RI Kawasan Barat Jakarta.
"Jika sindikat itu tak dibasmi hingga akar-akarnya, sampai kapan pun operasi kapal pukat harimau Thailand maupun lokal tetap marak," ujar Paijan. (ryi/jan/sp/dmu)
Read more ...
Sunday, February 22, 2009
Konservasi Orangutan di Kalimantan Timur
Dalam pertemuan itu, para pihak menyadari masih sendiri-sendiri melaksanakan penyelamatan orangutan. Akibatnya, tidak terdata jumlah dan kondisi populasi orangutan dan habitatnya yang terkini.
Selain itu, sulit dinilai apakah program para pihak sudah sesuai dengan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 dari Departemen Kehutanan. "Forum akan menjawab seberapa jauh para pihak berjalan sesuai dengan rencana aksi itu," kata Sarjono.
"Lewat forum diharapkan pula timbul kesadaran kita untuk menyelamatkan satwa-satwa asli yang juga terancam punah, seperti bekantan ( Nasalis larvatus) dan pesut mahakam (Orcaella brevirostris)," kata Kepala Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman Dr Chandradewana Boer.
Pertemuan itu menyepakati bahwa forum akan diketuai oleh Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Sekretariat Provinsi Kaltim. Gubernur, Kepala Bappeda, Kepala Bapedalda, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, dan unsur Departemen Kehutanan diharapkan menjadi dewan pembina.
Sementara ini terdapat 29 lembaga yang bersedia bergabung dalam forum. Unsur pemerintah yakni Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan dan Energi Kaltim, Balai Taman Nasional Kutai, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kaltim. Unsur usaha yakni Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Kaltim, perusahaan pertambangan batu bara Indominco Mandiri dan Kaltim Prima Coal. Unsur LSM dan perguruan tinggi seperti Universitas Mulawarman, WWF, TNC, BOSF, OCSP, Bebsic, Bioma, dan Profauna.
Source: KOMPAS
Read more ...
Saturday, February 21, 2009
Pelestarian Penyu Menjadi Perhatian Dunia
IOSEA merupakan lembaga kerjasama antarnegara kawasan Samudera Hindia dan Asia Tenggara serta negara lain yang memiliki perhatian terhadap pelestarian penyu.
Ancaman utama terhadap penyu laut terutama oleh kegiatan eksploitasi yang tanpa menjaga kelestariannya (unsustainable exploitation), perusakan terhadap habitat khususnya tempat bertelur dan mencari makan, serta kematian akibat penangkapan tak sengaja oleh nelayan.
Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengatakan, sejauh ini pihaknya telah melakukan kampanye terpadu untuk menyelamatkan penyu melalui penerapan sejumlah peraturan, termasuk yang terkait dengan penangkapan ikan.
Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, seperti perusahaan bidang perikanan yang terbukti menangkap penyu, dikenakan sanksi berat sesuai ketentuan yang ada.
Dijelaskan bahwa penangkapan ikan dengan pukat harimau harus menggunakan jaring “TED” (turtle extrude devices) yang secara otomatis akan meloloskan penyu yang tertangkap kembali ke laut.
Penangkapan ikan dengan cara memancing, katanya, juga disyaratkan menggunakan kail berbentuk huruf “C” yang bisa menyelamatkan penyu dan dilarang memakai kail berbentuk “J” yang menjerat dan mematikan penyu.
Menurut Freddy, kini telah ditetapkan sejumlah lokasi konservasi yang merupakan kawasan tempat tertelur penyu, seperti habitat penyu hijau di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur dan penyu belimbing di Janursba Medi serta.
Perlindungan dan pelestarian penyu juga dilakukan melalui berbagai upaya, seperti mencegah pemangsaan telur oleh burung elang dan biawak, maupun tindakan perburuan sarang telur penyu oleh masyarakat.(Ant)
Sumber berita: Antara
Read more ...Kerusakan Hutan di Indonesia Turun 60 Persen
Kerusakan hutan di Indonesia menurun dari 2,83 juta hektar per tahun menjadi 1,08 juta ha per tahun atau menurun 60 persen. Keberhasilan itu setelah Departemen Kehutanan (Dephut) menggalakkan gerakan penghijauan nasional selama tiga tahun (2004-2007), kata Kepala Pusat Informasi Dephut, Ir Masyhud kepada wartawan di Jambi, Kamis.
Dephut selama dua hari di Jambi (13-14 Agustus 2008) menggelar konsultasi publik menggalakkan program nasional "Indonesia Menanam Satu Juta Pohon" pada 2008 dalam rangka Kebangkitan Indonesia 100 tahun.
Masyhud menjelaskan, degradasi hutan di Indonesia berhasil diturunkan selama tiga tahun itu dengan menggerakkan program penghijauan dengan menanam 2 miliar lebih pohon.
Program penghijauan itu dicanangkan melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan Indonesia Menanam dengan semboyan "Kecil Menanam, Besar Memanen", "Tebang Satu Tanam Seribu", serta "Santri Menanam, Kyai Memanen, Anak dan Cucu Memanen".
Sejumlah peneliti asing menyebut gerakan penghijauan nasional menurunkan tingkat degradasi menjadi 70.000 ha per tahun.
Pada 2005 tutupan hutan atas keberhasilan penghijauan mencapai 80 juta hektar. Lahan kritis dari kerusakan 59,2 juta hektar per tahun menurun menjadi 30 juta ha per tahun.
Sedangkan, pada 2007 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Indonesia Hijau di Jonggol menargetkan menanam 79 juta pohon, namun terealisasi melebihi target yaitu 86,9 juta ha.
Sementara Gerakan Perempuan Menanam yang dicanangkan Ibu Ani Yudhoyono dari target 10 juta pohon ternyata bisa mencapai penanaman pohon 14,1 juta.
Keberhasilan itu terlihat karena antusias dan kian tingginya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan, sebab akibat kerusakan hutan selama ini telah menyengsarakan semua pihak seperti bencana alam banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Bencana itu tidak hanya mengalami kerugian materi cukup besar, tapi juga banyak korban manusia.
Karenanya pada 2008 dalam Gerakan Indonesia Hijau dalam rangka Kebangkitan Indonesia 100 tahun menargetkan penanaman 100 juta pohon. (*)
Jambi (ANTARA News)
Indonesia Peat Fires May Fuel Global Warming, Experts Say
The rainy season arrived at the end of October, squelching the flames. Even so, Jack Rieley, a peatland ecologist at the University of Nottingham in the United Kingdom, had no time to sigh in relief. With the rains come the floods.
The downsides, according to Rieley, result from the vast chunks of Indonesia's peatlands that have been burned, logged, drained, and left vulnerable to fire. It's all part of an effort to feed a burgeoning population of more than 210 million people and jump-start an ailing economy.
Tropical peatlands consist of layer upon layer of forest debris too wet to decompose. They cover approximately 50 million acres (20 million hectares) in Indonesia, or nearly 11 percent of the country's total land area. Key areas of peatland burning include Borneo, Sumatra, and West Papua.
Rieley is the co-leader of an international project that has studied the ecology of the peatland in the province of Central Kalimantan in Borneo since 1993.
Scientists know that these peatlands serve as gigantic stores of carbon. They have accumulated woody debris for millennia, locking it up in soggy piles that in places reach 66 feet (20 meters) deep.
Now that the peatlands regularly burn, Rieley and his colleagues say these carbon stores have become carbon sources. They're rapidly increasing atmospheric concentrations of the greenhouse gas carbon dioxide (CO2), potentially spurring global warming.
"I am a peatland expert, not a climate one," Rieley said. "What I do know, however, is that tropical peatlands are releasing a very large amount of carbon from [storage] that is likely to be contributing to the accelerating increase in CO2 in the atmosphere."
"If other experts believe that this higher level of CO2 is propelling global warming, then of course tropical peatlands are part of that," he added.
Larry Smith is an associate professor of geography at the University of California, Los Angeles, who studies the vast peatlands in Siberia. He said scientists are just now beginning to understand the role peatlands play in the regulation of greenhouse gases.
Healthy peatlands absorb carbon dioxide as new vegetation grows, serving as a carbon sink. But microbes that thrive in these oxygen-poor, soggy environments slowly and incompletely decompose the plant material, causing peat to accumulate over time.
"A primary product of anaerobic [oxygen-poor] decomposition by microbes is methane," Smith said. "As [the peat] is decomposed, some carbon is released as methane rather than carbon dioxide."
Calculations on how much carbon peatlands store show that most of the world's peatlands are "slight sinks to neutral in terms of their net carbon balance," Smith said.
He and his colleagues are now trying to tease out the details of where the balance for Siberian peatlands teeters—from being a slight carbon sink or neutral to a source of carbon. Preliminary calculations suggest peatland could become carbon generators if global temperatures continue to rise, drying out the peatlands.
According to Rieley and his colleagues, the balance has already swung in Indonesia. Historically, tropical peat bogs have absorbed carbon at much faster rates than the peatlands in more northern latitudes.
"They are obviously of great importance in the global carbon cycle," Rieley said. "This role is now being destroyed by inappropriate land use and fire that has changed tropical peat bogs from sinks into sources of carbon."
Mega Rice Project
For decades Indonesia's peatlands have been burned and drained to make room for agriculture and settlements, but in 1995 the pace of destruction quickened with former dictator Suharto's Mega Rice Project.
The project was intended to turn Central Kalimantan into the country's rice bowl by logging and draining approximately 2.5 million acres (1 million hectares) of peatland and planting it with rice.
For two years workers cleared the forests and dug some 2,900 miles (4,600 kilometers) of canals, some as wide as 100 feet (30 meters). The canals were to keep the soil drained in the rainy season and crops irrigated in the dry season.
But the plan backfired. The peatlands are raised above the adjacent rivers, so the constructed canals only sucked the peatlands dry. Then in 1997 the El NiƱo weather phenomenon brought a severe, eight-month drought to the region. The high and dry peatlands went up in flames.
Rieley set out to measure the carbon released by the fires. He was joined by colleagues Florian Siegert of the Ludwig-Maximilians-University in Munich, Germany, and Susan Page of the University of Leicester in the United Kingdom. The team used a combination of satellite imagery and ground measurements to estimate that the 1997 peat and forest fires released between 0.87 and 2.57 billion tons of carbon into the atmosphere.
"Undoubtedly these fires and associated carbon loss from degrading peat converted to agriculture and settlement are contributors to the accelerating increase in atmospheric CO2 concentrations," Rieley said.
The team's original report appeared in the science journal Nature in 2002. In today's issue (November 11, 2004) of the journal, a news feature investigates the current crisis and the conservation community's attempts to bring the peatlands back to life.
At a press conference on Wednesday, Rieley and colleagues called on political leaders and international aid organizations for support in their efforts to save the Indonesian peatlands.
Mengungkap terjadinya hujan asam
Read more ...